Predikat “Kota Wali” yang disandang Kabupaten Demak dipertanyakan jika kita melihat sampah di Demak yang beserakan dan menumpuk di sembarang...
Predikat “Kota Wali” yang disandang Kabupaten Demak dipertanyakan jika kita melihat sampah di Demak yang beserakan dan menumpuk di sembarang tempat. Komponen kebersihan bagian dari iman tak tampak di kabupaten tempat Kerajaan Islam Petama di Jawa ini. Demo warga kalikondang menuntut ditutupnya tempat pembuangan sampah akhir (TPA) di wilayah mereka, adalah alarm peringatan bahwa sampah menjadi masalah serius di Kota Wali. Selain masalah TPA, jamak kita temui sampah dibuang sembarangan seperti di sungai, di pinggir jalan, juga di pekarangan “tak bertuan”. Yang memprihatinkan hampir di setiap desa, kita temui lahan milik negara dijadikan tempat pembuangan sampah illegal.
Kondisi di atas menimbulkan berbagai masalah mulai soal estetika hingga problem kesehatan. Sampah yang dibuang sembarangan menjadikan lingkungan kotor, kumuh, bau tak sedap, banjir, dan menjadi sarang berkembangnya kuman penyakit.
Ada tiga hal yang menjadi akar masalah sampah diatas, yaitu pertama budaya “membuang” sampah yang diwariskan nenek moyang. Dahulu orang membuang sampah di pekarangan rumah. Mereka membuat “jugangan” lubang di tanah dengan lebar, panjang dan kedalaman sekitar 1 meter kubik di pekarangan rumah. Lubang itu digunakan sebagai tempat pembuangan sampah. Budaya buang sampah di tanah pekarangan pada waktu itu tidak menjadi masalah sebab sampah yang mereka buang kebanyakann sampah organic, belum ada sampah plastik, sterofoam, atau bahan sintetis lainnya yang sulit diurai oleh tanah. Justru dengan membuang sampah dipekarangan, pekarangan jadi subur karena sampah akan teruarai secara alami menjadi kompos.
Zaman berkembang, tanah pekarangan yang mereka miliki diwariskan ke anak cucu lalu didirikan bangunan rumah. Bersamaan diwariskannya tanah pekarangan yang berubah jadi rumah, budaya membuang sampah juga turut diwariskan ke anak cucu. Penanganan sampah rumah tangga cukup hanya dibuang. Dibuang kemana? Jika masih punya pekarangan mereka akan membuangnya ke pekarangan. Jika tidak punya pekarangan mereka membuangnya dipekarangan tetangga. Dan jika tidak ada pekarangan tetangga, mereka membuang sampah di lahan publik seperti sungai, pinggir jalan, dan lahan negara yang kosong.
Penyebab kedua minimnya pengetahuan mengelola sampah akibat dari budaya membuang sampah dipekarangan yang diwariskan orang tuanya. Himbauan “Buanglah sampah pada tempatnya” juga memperkuat mindset masyarakat, bahwa sampah cukup dibuang, tidak perlu diolah lebih lanjut. Kalaupun tidak dibuang, paling mudah yang dilakukan untuk mengurangi tumpukan sampah adalah dengan membakar sampah.
Ketiga disebabkan oleh tidak adanya sarana, prasarana dan sistem yang mendukung pengelolaan sampah. Mungkin saja sebagian masyarakat kita sadar pentingnya “membuang sampah pada tempatnya”. Namun jika sarana tempat pembuangan tidak tersedia, kemana mereka akan membuangnya? Lagi-lagi mereka akan membuangnya ke lahan public. Alih alih mengelola, membuang sampah saja tidak tersedia sarana dan prasarananya.
Melihat akar masalah di atas, maka yang perlu dilakukan adalah pertama membangun budaya mengolah sampah. Mulai dari tingkat rumah tangga, instansi, kampung atau desa/kelurahan, hingga pada level pemerintah daerah. Untuk membangun budaya tersebut masyarakat secara intensif dan massif perlu dikenalkan budaya 3 R (Reduce, Reuse dan Recycle) yaitu mengurangi sampah, menggunakan kembali barang-barang yang tak terpakai, dan mendaur ulang sampah. Mereka juga perlu dikenalkan pengetahuan praktis cara mengolah sampah serta sistem pengelolaannya.
Agar sosialisasi bisa berjalan secara massif menyentuh seluruh lapisan masyarakat, dan intensif terus menerus, pemerintah harus menggandeng unsur-unsur yang ada dalam masayarakat mulai dari instansi pemerintah, perusahaan, sekolah hingga organisasi masyarakat dan komunitas. Pemerintah mewajibkan program “pengolahan sampah” di instansi-instansi pemerintah. Sekolah, madarasah dan pondok pesantren diwajibkan memasukkan pelajaran “pengolahan sampah” dalam kurikulum mereka baik teori maupun praktek. Pemerintah mendorong perusahaan yang ada di Demak agar mendukung karyawan dan lingkungan sekitar mengolah sampah. Pemerintah juga mendorong peran serta organisasi masyarakat dan komunitas agar mensosialisasikan pengolahan sampah pada anggotanya.
Langka Kedua, Pemerintah wajib menyediakan sarana dan prasarana pendukung pengelolaan sampah. Akan sia sia belaka sosialisasi pengetahuan pengelolaan sampah yang sudah dilakukan jika tidak didukung sarana dan prasarana yang memadai. Meskipun pengetahuan dan kesadaran mengelola sampah sudah dimiliki namun jika tidak didukung sarana yang memadai masyarakata akan kembali membuang sampah sembarangan. Jika pemerintah merasa keberatan dalam hal anggaran, pemerintah bisa mendorong masyarakat mandiri mewujudkan sarana prasarana secara swadaya.
Menumbuhkan budaya mengelola sampah memang tidak mudah, butuh komitmen bersama dan komitmen jangka panjang agar budaya ini bisa terlaksana. Budayawan Nasional Prie GS melalui akun sosial media mengakui mendorong masyarakat sadar lingkungan tidak mudah. Namun hal itu bukannya tak mungkin, sebagaimana dibuktikan oleh usaha Vania Santoso (23) tahun dalam gerakan mengelola sampah di lingkungannya di Jemursari Surabaya (Kompas 31 Oktober 2015). Vania terketuk ingin mengelola sampah dilingkungannya dengan mendirikan bank sampah. Usaha awal dengan mengundang seluruh warga RW ternyata hanya dihadiri 10 orang, usaha vania hanya dipandang sebelah mata. Butuh waktu berbulan-bulan untuk meyakinkan tetangganya agar mau terlibat dalam gerakan yang dilakukannya.
Kini vania dan anggota tim bisa menikmati hasil gerakan yang dilakukannya. Selain kebersihan lingkungan yang didapat, Vania mampu menghasilkan produk tas yang berharga ratusan ribu yang diproduksi dengan bahan baku limbah sampah. Bahkan tas kreasinya diminati oleh konsumen manca negara.
Dengan melihat fakta masalah sampah dilapangan, akar masalah sampah, dan beberapa solusi yang mungkin bisa dilakukan, saya mengajak diri saya pribadi, pemerintah dan seluruh warga Demak untuk melakukan langkah konkrit mengelola sampah yang kondisinya sudah darurat.
Tumpuakn sampah di tengah kota yang berada di belakang rutan Bemak |
Ada tiga hal yang menjadi akar masalah sampah diatas, yaitu pertama budaya “membuang” sampah yang diwariskan nenek moyang. Dahulu orang membuang sampah di pekarangan rumah. Mereka membuat “jugangan” lubang di tanah dengan lebar, panjang dan kedalaman sekitar 1 meter kubik di pekarangan rumah. Lubang itu digunakan sebagai tempat pembuangan sampah. Budaya buang sampah di tanah pekarangan pada waktu itu tidak menjadi masalah sebab sampah yang mereka buang kebanyakann sampah organic, belum ada sampah plastik, sterofoam, atau bahan sintetis lainnya yang sulit diurai oleh tanah. Justru dengan membuang sampah dipekarangan, pekarangan jadi subur karena sampah akan teruarai secara alami menjadi kompos.
Zaman berkembang, tanah pekarangan yang mereka miliki diwariskan ke anak cucu lalu didirikan bangunan rumah. Bersamaan diwariskannya tanah pekarangan yang berubah jadi rumah, budaya membuang sampah juga turut diwariskan ke anak cucu. Penanganan sampah rumah tangga cukup hanya dibuang. Dibuang kemana? Jika masih punya pekarangan mereka akan membuangnya ke pekarangan. Jika tidak punya pekarangan mereka membuangnya dipekarangan tetangga. Dan jika tidak ada pekarangan tetangga, mereka membuang sampah di lahan publik seperti sungai, pinggir jalan, dan lahan negara yang kosong.
Penyebab kedua minimnya pengetahuan mengelola sampah akibat dari budaya membuang sampah dipekarangan yang diwariskan orang tuanya. Himbauan “Buanglah sampah pada tempatnya” juga memperkuat mindset masyarakat, bahwa sampah cukup dibuang, tidak perlu diolah lebih lanjut. Kalaupun tidak dibuang, paling mudah yang dilakukan untuk mengurangi tumpukan sampah adalah dengan membakar sampah.
Ketiga disebabkan oleh tidak adanya sarana, prasarana dan sistem yang mendukung pengelolaan sampah. Mungkin saja sebagian masyarakat kita sadar pentingnya “membuang sampah pada tempatnya”. Namun jika sarana tempat pembuangan tidak tersedia, kemana mereka akan membuangnya? Lagi-lagi mereka akan membuangnya ke lahan public. Alih alih mengelola, membuang sampah saja tidak tersedia sarana dan prasarananya.
Melihat akar masalah di atas, maka yang perlu dilakukan adalah pertama membangun budaya mengolah sampah. Mulai dari tingkat rumah tangga, instansi, kampung atau desa/kelurahan, hingga pada level pemerintah daerah. Untuk membangun budaya tersebut masyarakat secara intensif dan massif perlu dikenalkan budaya 3 R (Reduce, Reuse dan Recycle) yaitu mengurangi sampah, menggunakan kembali barang-barang yang tak terpakai, dan mendaur ulang sampah. Mereka juga perlu dikenalkan pengetahuan praktis cara mengolah sampah serta sistem pengelolaannya.
Agar sosialisasi bisa berjalan secara massif menyentuh seluruh lapisan masyarakat, dan intensif terus menerus, pemerintah harus menggandeng unsur-unsur yang ada dalam masayarakat mulai dari instansi pemerintah, perusahaan, sekolah hingga organisasi masyarakat dan komunitas. Pemerintah mewajibkan program “pengolahan sampah” di instansi-instansi pemerintah. Sekolah, madarasah dan pondok pesantren diwajibkan memasukkan pelajaran “pengolahan sampah” dalam kurikulum mereka baik teori maupun praktek. Pemerintah mendorong perusahaan yang ada di Demak agar mendukung karyawan dan lingkungan sekitar mengolah sampah. Pemerintah juga mendorong peran serta organisasi masyarakat dan komunitas agar mensosialisasikan pengolahan sampah pada anggotanya.
Langka Kedua, Pemerintah wajib menyediakan sarana dan prasarana pendukung pengelolaan sampah. Akan sia sia belaka sosialisasi pengetahuan pengelolaan sampah yang sudah dilakukan jika tidak didukung sarana dan prasarana yang memadai. Meskipun pengetahuan dan kesadaran mengelola sampah sudah dimiliki namun jika tidak didukung sarana yang memadai masyarakata akan kembali membuang sampah sembarangan. Jika pemerintah merasa keberatan dalam hal anggaran, pemerintah bisa mendorong masyarakat mandiri mewujudkan sarana prasarana secara swadaya.
Menumbuhkan budaya mengelola sampah memang tidak mudah, butuh komitmen bersama dan komitmen jangka panjang agar budaya ini bisa terlaksana. Budayawan Nasional Prie GS melalui akun sosial media mengakui mendorong masyarakat sadar lingkungan tidak mudah. Namun hal itu bukannya tak mungkin, sebagaimana dibuktikan oleh usaha Vania Santoso (23) tahun dalam gerakan mengelola sampah di lingkungannya di Jemursari Surabaya (Kompas 31 Oktober 2015). Vania terketuk ingin mengelola sampah dilingkungannya dengan mendirikan bank sampah. Usaha awal dengan mengundang seluruh warga RW ternyata hanya dihadiri 10 orang, usaha vania hanya dipandang sebelah mata. Butuh waktu berbulan-bulan untuk meyakinkan tetangganya agar mau terlibat dalam gerakan yang dilakukannya.
Kini vania dan anggota tim bisa menikmati hasil gerakan yang dilakukannya. Selain kebersihan lingkungan yang didapat, Vania mampu menghasilkan produk tas yang berharga ratusan ribu yang diproduksi dengan bahan baku limbah sampah. Bahkan tas kreasinya diminati oleh konsumen manca negara.
Dengan melihat fakta masalah sampah dilapangan, akar masalah sampah, dan beberapa solusi yang mungkin bisa dilakukan, saya mengajak diri saya pribadi, pemerintah dan seluruh warga Demak untuk melakukan langkah konkrit mengelola sampah yang kondisinya sudah darurat.
Contoh sudah ada di Desa Purirejo, Kecamatan Kota Demak. Lebih lengkap baca di teknologitpa.blogspot.co.id
BalasHapusDesa Turirejo, Kecamatan Kota Demak sudah menggunakan teknologitpa buatan saya. lebih lengkap baca di teknologitpa.blogspot.com
BalasHapus