Mbak Dian Nafi patut kita banggakan dan kita jadikan inspirasi sebab kiprahnya di dunia literasi telah produktif menulis buku-buku yang d...
Mbak Dian Nafi patut kita banggakan dan kita jadikan inspirasi sebab kiprahnya di dunia literasi telah produktif menulis buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit nasional dan dipasarkan oleh jaringan toko buku nasional Gramedia. Bagaimana kisahnya? Berikut ini adalah tulisan tentang mbak Dian yang dimuat di Media Tribun Jateng.
Memulai Dari Ikut Lomba (Perjalanan DIan Nafi Mengembangkan Sayap Sebagai Penulis)
Dalam sepekan Dian Nafi keliling empat pesantren sekaligus di Jawa Timur, mulai Banyuwangi, Surabaya, Mojokerto dan Tuban. Ia pun menemukan banyak hal yang bisa digali dari perjalanannya itu.
"Ceritanya, saat itu saya tengah menggarap novel terbaru. Tunggu ya, sekarang masih dalam proses editing" kata penulis asal Demak ini kepada Tribun Jateng.
Dian pun sedikit membocorkan alur cerita calon novel terbarunya. Yakni tentang seseorang yang melakukan perjalanan dari pesantren ke pesantren untuk menemukan jawaban atas banyak pertanyaan yang muncul, setelah mengalami guncangan dalam hidup. Apa judul novelnya? Dian masih merahasiakan.
Dian mengatakan cerita tersebut merupakan cerita fiksi. Meskipun begitu dian tak main-main dalam menggarap. menurutnya fiksi bukan berarti tidak ada penggalian data dan fakta untuk memperkaya cerita. Karena itulah, terkadang sebuah novel, ia harus melakukan riset, terjun langsung ke berbagai lokasi, wawancara dan mengamati sehingga cerita yang dihadirkan sesuai dengan kondisi riil. "Asyik sih saya jadi tambah pengalaman dan teman. Dan biasanya saat melakukan riset semacam itu, saya akan menemukan banyak hal baru yang bisa digali dan mungkin menjadi karya baru saya di lain waktu" imbuh dian
Karena itulah dalam keseharian ibu dua anak ini selalu membawa catatan yang disebut sebagai buku ide. Saat menemukan hal menarik dimanapun berada ia akan mencatatnya. Di waktu luang ia menjabarkan ide-ide tersebut menjadi sebuah alur ceria.
Kadang ketika penerbit meminta tema-tema tertentu, dian tinggal bongkar buku ide. Dari situ dia akan menemukan cerita yang pas sesuai tema yang diminta penerbit terselip di halaman tertentu.
Dulu untuk satu novel Dian memerlukan waktu penyelesaian sekitar delapan bulan. Itu terjadi karena ia belum menemukan metode yang pas dan tepat. Semua ide di kepala dituangkan begitu saja dalam bentuk cerita sehingga kadang menjadi liar dan perlu proses editing lebih. Seiring berjalannya waktu Dian terus belajar. Akhirnya dia menemukan cara paling efektif menulis novel. Dimulai dari menemukan ide, pesan yang akan disampaikan. Pesan moral menjadi bagian yang sangat penting dalam karya - karyanya karena ia ingin orang memetik pembelajaran tertentu dari cerita yang ditulis.
"Sebenarnya karena itulah saya menyukai dunia tulis menulis. Saya ingin memperkaya literasi Indonesia yang mampu memberikan inspirasi, terutama bagi generasi muda" ujar wanita yang juga berprofesi sebagai pendidik ini.
Setelah ide dan pesan cerita disusun, langkah selanjutnya adalah menentukan kerangka alur cerita, garis besar perwatakan tokoh dan lain sebagainya. Lewat cara demikian cerita yang dibangun tidak akan keluar dari ide awal.
Sekarang Dian sudah menghasilkan lebih dari seratus buku. Lebih dari 30 diantaranya merupakan novel karya pribadi, Mayasmara, Gus dan yang terbaru Matahari Mata Hati. Sementara sisanya Antara lain berupa ontologi puisi dan karya yang ditulis bersama penulis lain.
Dia juga menulis tema umum seperti travelling sebagai misal dalam bukunya yang berjudul Miss Backpacker, agama, dan buku motivasi. Dalam beberapa bulan terakhir Dian bahkan mampu menghasilkan satu buku setiap bulannya. "Saya merasa telat dalam menulis. Untuk mengejar ketertinggalan, saya berusaha seproduktif mungkin" kata lulusan arsitek Undip semarang ini.
Sebenarnya sejak SD Dian sudah hobi menulis. Ia menuangkan cerita dimana saja termasuk di kertas ujian saat masih sekolah. Namun bakat tersebut tak dihiraukan dan setelah lulus kuliah ia dan suami terjun ke dunia arsitek.
Pada tahun 2008 suami Dian meninggal dunia dan ia berdiam diri di rumah menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari. Saat itulah ia mulai mengenal media sosial dan bertemu rekan lama yang mengajak dia menulis lagi.
Dia pun aktif menceri info lomba menulis yang diadakan berbagai penerbit yang sebagian besar berhasil dia menangkan. Dari situlah tawaran mulai berdatangan. Novel pertamanya yang diterbitkan berjudul Mayasamara. Meski sudah lebih dari seratus buku dihasilkan dian mengatakan karyanya saat ini masih belum sempurna. "Keinginan saya adalah bisa menulis yang bagus. Kalau sekarang masih on going" Katanya.
Merintis Taman Baca
Bukan karena berprofesi sebagai penulis jika Dian Nafi mendirikan taman bacaan. Namun kepedulian pada dunia pendidikan yang mendorong ia merealisasikan taman baca tersebut. "sekarang masih merintis taman bacaan. Buku-buku sudah banyak yang terkumpul. Yang sulit mencari sukarelawan yang mau mengurusnya" tutur Dian Nafi kepada Tribun Jateng.
Perkembangan zaman di mana teknologi banyak menawarkan hal-hal menarik, diakuinya membuat anak anak masa kini lebih tertarik pada game dibandingkan membaca buku. Inilah antara lain yang melatarbelakangi Dian membuat taman baca. Padahal dari buku anak-anak bisa belajar banyak, baik mengenai kasusastraan maupun bidang umum.
Selain sebagai arsitek dan penulis Dian memang sangat konsen pada dunia pendidikan. Ia mendirikan dan mengelola dua PAUD sekaligus yakni PAUD Cahaya di Semarang dan PAUD Fadhoilusy Syukriyah di Demak.
Hampir seluruh yang dia kerjakan masih terkait pendidikan. Mulai dari mengajar ngaji di malam hari, mengajar di PAUD dan sharing kepenulisan di kampus-kampus, sekolah, pesantren dan komunitas. "Saya menulis buku baik fiksi dan nonfiksi juga karena panggilan ingin punya peran dalam pendidikan dalam bentuk literasi" imbuh Dian.
Sumber: Tribun Jateng 16 Agustus 2015
KOMENTAR