KH Munif Zuhri atau yang akrab dipanggil Gus Munif Girikusumo menggambarkan sosok dengan pesanpesan ringkas namun sarat makna.
KH Munif Zuhri |
KH Munif Zuhri atau yang akrab dipanggil Gus Munif Girikusumo menggambarkan sosok dengan pesanpesan ringkas namun sarat makna.
Selasa malam lalu, ketika memberikan mauidzah hasanah pada penutup majelis ”Dibaiyah Profesor, Doktor, dan Alim Ulama” di Menara Suara Merdeka Semarang, tebaran karismanya terasa menyentuh relung-relung kalbu.
Dengan lembut, tanpa letupanletupan orasional, diksi yang tegas terpilih, Gus Munif mengingatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah tentang tugas untuk mengayomi bukan saja umat muslim, akan tetapi juga umat beragama lain. Pernyataan itu cukup menegaskan sikap Gus Munif sebagai tokoh lintas sekat.
Apalagi ketika dengan bahasa cerdas ia mentamsilkan ekspresi agama rahmah lewat perilaku Rasulullah Muhammad yang menyayangi semua tanpa memandang asal usul agama. Ia mengingatkan, janganlah menjalankan agama dengan kekerasan dan menganggap yang berbeda sebagai ”liyan”.
Mengartikulasikan ”rahmah” dengan padanan keindonesiaan ”ramah” juga makin menegaskan positioning sikap Gus Munif, untuk mendorong MUI memaknai interaksi keagamaan dan komunikasi keumatan yang penuh kesejukan.
Pesan yang tertangkap dari pernyataan tersebut adalah pilihan sikap mengenai realitas keindonesiaan yang berbineka.
Model Komunikasi
Performa kesejukan yang memancar dari ulama karismatis ini kita angkat sebagai mukadimah tentang bagaimana membangun interaksi lintas sekat sebagai sebuah keniscayaan di Indonesia.
Sikap Gus Munif beraksentuasi mengenai kesiapan mengarungi dinamika keberagaman, serta cara berdakwah yang menyiramkan kesejukan. Model komunikasinya sangat ”apa adanya”, memformulasikan pesan-pesan ringkas yang mudah dicerna. Ringkas, namun padat dalam makna.
Ketika dunia komunikasi dan media kekinian kita dijejali dengan fenomena berita bohong (hoax), yang sebagian mengembangkan kecenderungan tentang intoleransi, maka idealnya pesan-pesan dari para pemuka agama menjadi penyangga ketegakan kejujuran interaksi. Bukan malah sebaliknya, menyiramnya dengan uap ekspresi kebencian.
Bukankah yang berlangsung sekarang adalah pertarungan dua kutub sifat hitam-putih manusia: kejahatan — yang diwakili oleh masivitas penyebaran kabar-kabar bohong — melawan kebenaran, yang direpresentasikan oleh perlawanan pelurusan dengan berbagai modelnya?
Dunia jurnalistik, dengan kemuliaan nilai-nilai, seharusnya menjadi lahan perlawanan terhadap hoax melalui produk-produk yang dibuahkan oleh mekanisme memperoleh, mengolah, dan menyebarkan informasi.
Namun perkembangan teknologi informasi yang — pada sisi biasnya — menyeruakkan sikap-sikap liar dalam menyebar dan mengembangkan berita termasuk melalui media sosial, kini membutuhkan penyeimbangan melalui kesejukan penyebaran informasi.
Cara inilah yang antara lain dibutuhkan untuk meminimalkan penaburan intoleransi yang cenderung berwajah verbal.
Mauidzah hasanah dengan gaya Munif Zuhri kita pahami sebagai salah satu cara universal menyampaikan pesan, justru ketika ”pesan” tentang kesejukan yang istikamah sejatinya telah memancar dari keteduhan performa sang kiai.
MUI Jateng yang ”didampingi” sosok sekualitas itu barang tentu akan selalu merasa anget untuk membangun positioning sebagai pengayom umat.
Tugas MUI untuk menyampaikan panduan melalui fatwa-fatwa bakal terjaga dengan frame sikap sejuk. Islam sebagai rahmat untuk semesta alam pun akhirnya dirasakan sebagai payung multikultur yang justru akan memaslahatkan citra ”rahmah” dan ”ramah”.
Para tokoh dengan kualifikasi teduh menyemaikan gaya berkomunikasi lewat teknik-teknik yang melekat sebagai kompetensi personal sekaligus kompetensi keumatan. Kita mengenal kiprah Gus Mus, KH Maemun Zubair, Gus Munif, Buya Syafii Maarif, dan KH Agil Siradj.
Juga, di lingkup Jawa Tengah namanama Gus Yusuf Chudlori, KH Haris Shodaqoh, KH Amin Syukur, KH Ahmad Darodji, atau Ustadz Rozihan menjadi jaminan eksistensi di antara banyak figur lintas sekat yang mengembangkan cara berkomunikasinya masing-masing.
Mereka menggaungkan visi pengetahuan dan kebangsaan lewat aksentuasi kiprah yang berbedabeda tetapi bersubstansi sama.
Performa para rokoh itu menyiratkan pesan bahwa tidak seharusnya umat dibelit kegaualan ekstrem menghadapi fenomena kabar bohong dan semacamnya, karena sebenarnya ada tempat bertanya untuk memandu pilihan sikap.
Dari sisi jurnalistik, bukankah media juga punya cukup argumentasi untuk setiap saat ”memanfaatkan” para ”datuk” itu, bersama-sama menjadi jembatan pesan untuk menjaga kemaslahatan umat?
Penulis: Amir Machmud NS, Direktur Pemberitaan Suara Merdeka Network dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah
Sumber: berita.suaramerdeka.com/smcetak/komunikasi-rahmah-yang-ramah
KOMENTAR