Salah satu replika yang diarak saat takbir keliling Takbir keliling yang menutup ‘’kemeriahan’’ Ramadan hingga saat ini masih menyisaka...
![]() |
Salah satu replika yang diarak saat takbir keliling |
Sekarang, takbir tak jarang diselingi musik dugem dan pengiringnya berjoget, bertelanjang dada dengan dandanan awut-awutan. Ada di antaranya yang minum minuman keras yang memicu perkelahian antarkelompok. Di Karangawen, Kabupaten Demak, takbir keliling intens dilaksanakan mulai 1980-an untuk syiar Islam. Dengan berkeliling, diharapkan banyak anggota masyarakat bertakbiran.
[post_ads]
Waktu itu penerangan masih menggunakan obor bambu, dan para pemuda berdandan seperti para wali, bersurban dan berbaju panjang. Takbiran pu dilaksanakan secara tertib dan khidmat. Takbir mursal oleh jamaah beberapa masjid dan mushala yang kemudian jadi barisan panjang. Sekarang di beberapa tempat dibuat kepanitiaan tingkat desa dan dilombakan.
Tahun 1990-an dengan tujuan yang sama dibuatlah ‘’arak-arakan’’. Maksudnya ada benda yang dibuat, untuk diaraksaat takbir keliling. Pada masa itu yang dibuat adalah benda yang ada kaitannya dengan ibadah umat Islam. Misalnya replika beduk raksasa menggunakan kertas, replika Alquran raksasa menggunakan tripleks, replika masjid, replika Kakbah, tasbih raksasa dan sebagainya.
Pada perkembangannya demi alasan artistik maka muncullah bentuk-bentuk hewan seperti ular, naga, harimau, ikan, burung, atau kapal dan sebagainya. Panitia ketika ditanya tentang alasan membuat bentuk tersebut pun bisa memberi jawaban.
Misalnya saat ditanya wartawan televisi nasional yang datang meliput, panitia cepat menjawab. bahwa misalnya pembuatan replika ular raksasa itu guna memberi gambaran bagi yang tidak melaksanakan perintah agama maka di akhirat kelak ditemui binatang itu.
Adapun alasan membuat replika kapal adalah memberi gambaran tentang kapal Nabi Nuh. Melihat kualitas replika yang makin membaik menandakan telah tumbuh kreativitas dan imajinasi warga. Banyaknya penonton juga mengindikasikan hal tersebut dapat menjadi potensi wisata lokal.
Akhir 1990-an, takbir mursal atau ada yang menyebut arak-arakan menjadi langganan pemberitaan televisi nasional. Tidak hanya satu stasiun televisi tetapi beberapa. Muncul di televisi meskipun hanya beberapa detik menjadi kebanggaan peserta takbir keliling.
Oleh beberapa kelompok, takbir keliling digunakan sebagai tempat menyampaikan pesan politik. Membuat patung tikus raksasa dan diberi dasi, menyiratkan perilaku korupsi.
Tahun 1998 saat terjadi krisis moneter banyak juga yang membuat replika uang rupiah berukuran besar dan di sebelahnya terdapat tulisan ‘’aku cinta rupiah’’.
[post_ads]
Tidak Terkendali
Namun mulai tahun 2000-an perkembangannya tak terkendali, mengarah pada hal-hal yang tidak masuk akal. Misal membuat replika tokoh kartun, penggambaran hantu, tengkorak yang makin jauh dari makna takbiran
![]() |
Bupati dan kapolres memegang mercon jumbo berdaya leda melebihi granat, disita dan dimusnahkan oleh petugas |
Ditambah perilaku tidak bertanggung jawab sebagian peserta, seperti memutar musik keras sebagai pengiring takbir. Peserta pria bertelanjang dada, atau minum miras dan membunyikan petasan yang semakin menjauhkan tujuan awal takbir mursal, yaitu syiar Islam.
Di Karangawen beberapa tahun lalu ada korban kehilangan satu bola mata karena perkelahian saat takbir mursal. Tahun ini terjadi bentrok antarkelompok yang ditengarai karena pengaruh miras, yang mengakibatkan baju salah satu peserta terbakar kembang api hingga terluka.
Ke depan, sebaiknya para ulama, pengurus masjid/mushala dan juga pemkab/pemkot di Jateng berembuk untuk mengelola takbir mursal supaya tidak disusupi orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Takbir sesungguhnya perayaan karena kita terbebas dari belenggu setan bukan malah terperangkap pada bujukan setan.
Sumber: berita.suaramerdeka.com/smcetak/renungan-dari-takbir-mursal
Judul telah diubah dari judul asli "Renungan dari Takbir Mursal"
Penulis Muhajir Arrosyid, warga Demak, dosen FPBS Universitas PGRI Semarang
KOMENTAR