Senang rasanya jalan-jalan di alun-alun Masjid Agung Demak. Luas, bersih, dan nyaman. Namun sayang, sering ada orang pacaran berangkulan pin...
Senang rasanya jalan-jalan di alun-alun Masjid Agung Demak. Luas, bersih, dan nyaman. Namun sayang, sering ada orang pacaran berangkulan pinggang, dipeluk dari belakang di depan masjid yang didirikan oleh para wali ini. Perilaku ini berdampak langsung pada anak-anak yang melihatnya dan meruntuhkan citra Demak sebagai kota wali. Membiarkan perilaku pacaran di depan masjid sama saja menyilakannya.
Alun-alun Masjid Agung Demak menjadi sarana bercengkrama warga Demak. Ada juga peziarah yang duduk-duduk istirahat di bawah pohon beringin. Anak-anak bermain bola, di sudut yang lain ada juga yang berlatih bela diri. Banyak yang olahraga lari mengitari alun-alun. Pemandangan seperti itu dapat kita saksikan pagi dan sore hari. Pada suatu Minggu pagi persis di depan masjid, membelakangi masjid menghadap alun-alun segerombolan muda-mudi berkumpul di atas sepeda motor. Si perempuan di bagian depan, dan si laki-laki memeluk dari belakang. Mereka anak-anak usia remaja. Tentu orang-orang melihat peristiwa itu, peziarah, juga anak-anak. Saya tidak kuat menyaksikan pemandangan itu dan bilang kepadanya, “Mas tolong hormati masjid, hormati para ulama.”
Untung para remaja tanggung itu menurut dengan himbauan saya, jika mereka melawan, saya bisa babak belur. Pemandangan seperti itu tidak hanya saya saksikan sekali. Setelah peristiwa tersebut saya juga masih sering melihatnya. Sekarang saya pilih mendiamkannya. Orang-orang lain yang juga melihatnya mungkin juga berpikiran seperti saya, tidak mau ribut.
Namun berpacaran di tempat umum, merangkul pundak, memeluk dari belakang, entah itu dilakukan suami istri lebih-lebih yang belum menikah, di tempat umum bukanlah tanpa akibat buruk. Bertambah tidak elok karena dilakukan di depan masjid agung.
Pertama, yang terkena dampak langsung adalah anak-anak. Perilaku bermesraan di depan umum tidak dapat disembunyikan dari mata anak-anak yang kebetulan bermain di area tersebut. Apa yang dilihat anak-anak akan terekam dalam otaknya dan mereka menyimpulkan bahwa perilaku pacaran, bermesraan seperti yang ia lihat adalah sebuah kepatutan, kewajaran.
Bagaimanakah gambaran masa depan peradaban kita dapat dilihat bagaimana pandangan anak-anaknya. Jika anak-anak memandang hal seperti tersebut di atas sebagai sebuah kewajaran, hancurlah tata krama kita.
Kedua, ternodainya citra Demak sebagai kota wali, kota tempat belajar para santri, yang sepanjang hari berdengung kalimat-kalimat suci. Sebuah kota yang oleh Bupati Dachirin disebut-sebut sebagai serambi Madinah. Orang datang dari penjuru tanah air, dari Negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei Darusalam, melakukan perjalanan beratus-ratus kilometer untuk mengunjungi, menyaksikan Masjid Agung Demak, masjid yang oleh Ashadi (2002) disebut sebagai prototipe masjid nusantara.
Apa kesimpulan para peziarah menyaksikan pemandangan tidak senonoh semacam itu? Pasti mereka ikut prihatin dan menyayangkan kenapa orang-orang Demak tidak mampu menjaga masjid yang sarat makna tersebut. Kembali mengutip Ashadi (2002) bentuk masjid yang kerucut adalah manifestasi dari wujud sebuah gunung yang kemudian direpresentasikan ke dalam bentuk atap tajuk yang mewakili kesan keramat. Bagi masyarakat kuno, gunung dianggap sebagai tempat bersemayam para dewa, mahkluk yang memiliki kuasa dan kehendak atas dunia ini. Sedangkan bangunan dengan atap bentuk tajuk, sebagai perwujudan bentuk sebuah gunung, menjadi pilihan utama dalam rangka menghadirkan suasana keramat. Dan kekhusukan itu sirna gara-gara segelintir orang yang egois itu.
Penulis: Muhajir Arrosyid, Seorang Warga Demak, dosen Universitas PGRI Semarang
Ilustrasi: Pasangan muda mudi berpacaran di area umum (gambar diambil dari google) |
Untung para remaja tanggung itu menurut dengan himbauan saya, jika mereka melawan, saya bisa babak belur. Pemandangan seperti itu tidak hanya saya saksikan sekali. Setelah peristiwa tersebut saya juga masih sering melihatnya. Sekarang saya pilih mendiamkannya. Orang-orang lain yang juga melihatnya mungkin juga berpikiran seperti saya, tidak mau ribut.
Namun berpacaran di tempat umum, merangkul pundak, memeluk dari belakang, entah itu dilakukan suami istri lebih-lebih yang belum menikah, di tempat umum bukanlah tanpa akibat buruk. Bertambah tidak elok karena dilakukan di depan masjid agung.
Pertama, yang terkena dampak langsung adalah anak-anak. Perilaku bermesraan di depan umum tidak dapat disembunyikan dari mata anak-anak yang kebetulan bermain di area tersebut. Apa yang dilihat anak-anak akan terekam dalam otaknya dan mereka menyimpulkan bahwa perilaku pacaran, bermesraan seperti yang ia lihat adalah sebuah kepatutan, kewajaran.
Bagaimanakah gambaran masa depan peradaban kita dapat dilihat bagaimana pandangan anak-anaknya. Jika anak-anak memandang hal seperti tersebut di atas sebagai sebuah kewajaran, hancurlah tata krama kita.
Kedua, ternodainya citra Demak sebagai kota wali, kota tempat belajar para santri, yang sepanjang hari berdengung kalimat-kalimat suci. Sebuah kota yang oleh Bupati Dachirin disebut-sebut sebagai serambi Madinah. Orang datang dari penjuru tanah air, dari Negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei Darusalam, melakukan perjalanan beratus-ratus kilometer untuk mengunjungi, menyaksikan Masjid Agung Demak, masjid yang oleh Ashadi (2002) disebut sebagai prototipe masjid nusantara.
Apa kesimpulan para peziarah menyaksikan pemandangan tidak senonoh semacam itu? Pasti mereka ikut prihatin dan menyayangkan kenapa orang-orang Demak tidak mampu menjaga masjid yang sarat makna tersebut. Kembali mengutip Ashadi (2002) bentuk masjid yang kerucut adalah manifestasi dari wujud sebuah gunung yang kemudian direpresentasikan ke dalam bentuk atap tajuk yang mewakili kesan keramat. Bagi masyarakat kuno, gunung dianggap sebagai tempat bersemayam para dewa, mahkluk yang memiliki kuasa dan kehendak atas dunia ini. Sedangkan bangunan dengan atap bentuk tajuk, sebagai perwujudan bentuk sebuah gunung, menjadi pilihan utama dalam rangka menghadirkan suasana keramat. Dan kekhusukan itu sirna gara-gara segelintir orang yang egois itu.
Petugas
Lalu bagaimana untuk mengatasi hal ini? Jika Pedagang Kaki Lima saja dipindah demi keindahan alun-alun, kenapa tidak ada tindakan bagi orang pacaran yang tidak tahu tempat? Harus ada yang dilakukan. Pertama, beri lampu penerangan yang lebih banyak. Di tempat-tempat yang agak redup biasanya pacaran berlangsung. Kedua, beri tulisan-tulisan himbauan, peringatan dan dipasang di sejumlah tempat. Dengan adanya papan pengumuman berisi himbauan tersebut diharapkan mereka yang pacaran akan merasa risih. Ketiga, jika perlu adanya petugas patroli yang berkeliling berapa jam sekali untuk memeriksa ada tidaknya orang pacaran. Solusi lain adalah adanya pos penjagaan. Jika masyarakat melihat ada orang pacaran ia tidak perlu mengingatkan langsung yang berakibat resiko bentrok, ia bisa lapor kepada petugas di pos penjagaan. Masjid Agung Demak adalah warisan leluhur, bukan hanya benda tetapi adalah memuat pesan dan nilai-nilai tentang tauhid, tatakrama yang harus kita jaga. Selamanya.Penulis: Muhajir Arrosyid, Seorang Warga Demak, dosen Universitas PGRI Semarang
setuju, harus ada satgas khusus
BalasHapus