“Mas Haikal, apakah dari dulu sungai di sini memang keruh dan kotor seperti sekarang ini?” Yang saya maksud Mas Haikal adalah tuan rumah y...
“Mas Haikal, apakah dari dulu sungai di sini memang keruh dan kotor seperti sekarang ini?”
Yang saya maksud Mas Haikal adalah tuan rumah yang saya kunjungi, ia adalah menujuk jalan kami, ia putra daerah, Gus dari Pon Pes Al Musthofa yang di Asuh oleh K.M. Shafrul Jamil Margolinduk Demak.
Menuju ke ponpes sekaligus rumah lahirnya kami harus menyebrang sungai yang lumayan luas sekitar sepuluh meter menumpang rakit. Saat menyebrang itulah pertanyaanku aku sampaikan kepada Mas Haikal.
Menunjuk sungai yang kami sedang sebrangi yang di kanan kiri terdampar perahi berbagai ukuran dia menjawab. “Dulu waktu aku masih kecil suangai ini jernih Kang. Kami anak-anak berenang di sungai ini.”
Pada tanggal 14 mei 2015, saya berkesempatan menemani Dr. Harjito, Bu Nazla, dan Bapak Ahmad Rifai (seluruhnya dosen Universitas PGRI Semarang) untuk melakukan pengabdian kepada santri di dua pondok pesantren di pesisir Demak tersebut. Santri-santri tersebut diajari unuk dapat menulis cerita lucu yang khas pesantren dan kalau bisa khas pesisir. Pengabdian ini mengingatkan bahwa pesantren sebenarnya memiliki tradisi menulis yang kuat. Kita mengenal K.H. Mustofa Bisri, D. Zamawi Imron, Faisal kamadobat, dll. Sebelum itu ulama-ulama pesantren juga dikenal sebagai penulis-penulis handal yang ditulis melalui syair dan terwujud menjadi kitab-kitab. Islam dan sastra teramat bersandingan, perhatikanlah rima dan irama dalam Al Qur’an, perhatikan pula asonansi dan aliterasi digunakan di sana. Al Qur’an pada waktu itu muncul di tengah masyarakat Arab yang sedang gandrung berpuisi. Tetapi dalam tulisan ini saya tidak akan membahas tentang itu. Saya hanya akan menceritakan pengalaman mata, telinga, dan batin saya saat mengunjungi daerah pesisir Demak ini.
Atas pengamatan saya bertahun-tahun, saya menyadari bahwa pesisir merupakan kekayaan yang luar biasa selain pertanian bagi Kabupaten Demak. Kabupaten ini menurut data pada tahun 1998 dari data BPS memiliki luas tambak 4.681 ha yang menghasilkan 3.584,48 ton ikan dari tambak dan 2.911,70 ton dari ikan laut.
Saat makan siang di Pondok Pesantren Al Musthofa kami disunguhi menu dengan khas laut; udang, cumi, dan krupuk gendar khas pesisir. Mula-mula Dr. Harjito agak enggan untuk menikmati udang. Saya yakinkan bahwa udang di sini berbeda dengan udang biasanya. Kelebihan udang di sini adalah karena masih segar jadi terasa manis. Beliau membenarkan dan mengambil udang sekali lagi.
Saya juga sempat bertemu dengan orang tua yang oleh Haikal disebut Bu Haji. Dari Bu Haji, kami mendapat oleh-oleh ikan asin yang renyah dan krupuk khas pesisir yang gurih itu. Bu Haji sempat bercerita bahwa bandeng dari Demak rasanya lebih enak dari pada bandeng dari daerah lain. Bandeng dari Demak tidak berbau lumpur, katanya. “Namun Bandeng Demak sekarang kecil-kecil Mas, karena terkena dampak solar yang tumpah dari kapal.”
Demak pesisir memiliki potensi wisata dan pusat oleh-oleh yang besar. Ikan-ikan berkeliaran diselokan, bakau yang mulai tumbuh besar juga keindahan yang layak ‘dijual’, kripik, dendeng, gereh, terasi, bandeng, tinggal dikemas lebih baik maka akan memiliki harga yang berlipat ganda. Menysuri jalan menuju ujung pesisir Demak, menyaksikan kapal-kapal mengingatkanku pada Bosphorus yang cantik, kawasan pelabuhan di Istanbul Turki, warisan kasultanan Ustmani. Pesisir Demak sangat berpontensi untuk dikembangkan seperti itu meskipun masih banyak perlu dibenahi terutama menejemen pembuangan sampah.
Ditulis oleh Muhajir Arrosyid, Warga Demak, Dosen di Universitas PGRI Semarang. Mengelola blok tunu.wordpress.com. Buku kumpulan cerpennya berjudul di Atas Tumpukan Jerami dan buku kumpulan esainya Soko Tatal. Artikel - artikelnya sering dimuat di Media Cetak
Tulisan ini saya copas dari : http://harjito.com/pesisir-demak-wisata-dan-oleh-oleh/
Yang saya maksud Mas Haikal adalah tuan rumah yang saya kunjungi, ia adalah menujuk jalan kami, ia putra daerah, Gus dari Pon Pes Al Musthofa yang di Asuh oleh K.M. Shafrul Jamil Margolinduk Demak.
Menuju ke ponpes sekaligus rumah lahirnya kami harus menyebrang sungai yang lumayan luas sekitar sepuluh meter menumpang rakit. Saat menyebrang itulah pertanyaanku aku sampaikan kepada Mas Haikal.
Menunjuk sungai yang kami sedang sebrangi yang di kanan kiri terdampar perahi berbagai ukuran dia menjawab. “Dulu waktu aku masih kecil suangai ini jernih Kang. Kami anak-anak berenang di sungai ini.”
Belajar Menulis Cerita Lucu
Sekarang Mas Haikal berunur kurang lebih 30-an tahun, itu artinya tiga puluhan yang lalu sungai tersebut jernih. Namun kata Mas Haikal karena penduduk bertambah dan orang-orang sekarang seenaknya membuang sampah sungai menjadi keruh.Pada tanggal 14 mei 2015, saya berkesempatan menemani Dr. Harjito, Bu Nazla, dan Bapak Ahmad Rifai (seluruhnya dosen Universitas PGRI Semarang) untuk melakukan pengabdian kepada santri di dua pondok pesantren di pesisir Demak tersebut. Santri-santri tersebut diajari unuk dapat menulis cerita lucu yang khas pesantren dan kalau bisa khas pesisir. Pengabdian ini mengingatkan bahwa pesantren sebenarnya memiliki tradisi menulis yang kuat. Kita mengenal K.H. Mustofa Bisri, D. Zamawi Imron, Faisal kamadobat, dll. Sebelum itu ulama-ulama pesantren juga dikenal sebagai penulis-penulis handal yang ditulis melalui syair dan terwujud menjadi kitab-kitab. Islam dan sastra teramat bersandingan, perhatikanlah rima dan irama dalam Al Qur’an, perhatikan pula asonansi dan aliterasi digunakan di sana. Al Qur’an pada waktu itu muncul di tengah masyarakat Arab yang sedang gandrung berpuisi. Tetapi dalam tulisan ini saya tidak akan membahas tentang itu. Saya hanya akan menceritakan pengalaman mata, telinga, dan batin saya saat mengunjungi daerah pesisir Demak ini.
Masjid yang Arsitekturnya Mulai Berubah
Tidak kali pertama saya berkunjung ke sini, sudah berulang kali. Saya juga pernah datang pada saat acara syawaalan, perayaan sedekah laut yang diselenggarakan tujuh hari setelah perayaan satu syawal. Pada waktu itu saya berkesempatan naik satu perahu dengan Bapak Bupati Tafta Zani. Hanya karena membawa kamera DLSR, oleh polisi pramong praja, saya dianggap sebagai wartawan. Kunjungan-kunjungan saya lakukan karena saya mencintai kabupaten yang dulu sebagai kerajaan ini. Saya juga pernah menginap di Wedung, juga di Babalan, perbatasan Demak dan Jepara. (Sumpah ini bukan karena saya akan mencalonkan diri sebagai Bupati pada pilkada tahun ini).Atas pengamatan saya bertahun-tahun, saya menyadari bahwa pesisir merupakan kekayaan yang luar biasa selain pertanian bagi Kabupaten Demak. Kabupaten ini menurut data pada tahun 1998 dari data BPS memiliki luas tambak 4.681 ha yang menghasilkan 3.584,48 ton ikan dari tambak dan 2.911,70 ton dari ikan laut.
Saat makan siang di Pondok Pesantren Al Musthofa kami disunguhi menu dengan khas laut; udang, cumi, dan krupuk gendar khas pesisir. Mula-mula Dr. Harjito agak enggan untuk menikmati udang. Saya yakinkan bahwa udang di sini berbeda dengan udang biasanya. Kelebihan udang di sini adalah karena masih segar jadi terasa manis. Beliau membenarkan dan mengambil udang sekali lagi.
Perahu di Kanan – Kiri Sungai
Sehabis dhuhur kami berpindah ke Pondok Pesantren An Nur yang diasuh oleh K.H. Muhamad Afif Zuhri Al-Utsmani di Pesisir Purworjo Bonang Demak. Panas khas pesisir menyengat mengeringkan ikan-ikian yang dijemur di kanan jalan. Kami harus turun dari mobil dan berjalan di jalan setapak untuk sampai di ponpes. Kami disambut oleh hamparan sampah dengan orama yang tak mampu saya ceritakan antara amis ikan dan sampah yang basah. Sebelum bertemu dengan para santri kami sowan dulu ke Pak Kyai. Kami cerita tentang apa saja, kami cerita bahwa ini adalah pengabdian kami yang ke sekian di pesantren yang kemudian diwujudkan dalam bentuk buku. Dan Pak Kyai bercerita kepada kami. “Mengelola pesantren di pesisir itu tantangannya berat di masa sekarang karena sedikit anak-anak yang kuat dengan panas pesisir dan aroma ikan asin yang dijemur.”Saya juga sempat bertemu dengan orang tua yang oleh Haikal disebut Bu Haji. Dari Bu Haji, kami mendapat oleh-oleh ikan asin yang renyah dan krupuk khas pesisir yang gurih itu. Bu Haji sempat bercerita bahwa bandeng dari Demak rasanya lebih enak dari pada bandeng dari daerah lain. Bandeng dari Demak tidak berbau lumpur, katanya. “Namun Bandeng Demak sekarang kecil-kecil Mas, karena terkena dampak solar yang tumpah dari kapal.”
Jemuran di Pesisir Demak
Saat menulis ini saya juga sedang menikmati dendeng gereh rasa manis. Tapi bukan oleh-oleh dari kunjunganku beberapa minggu yang lalu, dendeng ini adalah bisnis oleh-oleh yang dikembangkan oleh putra Demak asli Wedung bernama Wahid Kawulo Alit.Demak pesisir memiliki potensi wisata dan pusat oleh-oleh yang besar. Ikan-ikan berkeliaran diselokan, bakau yang mulai tumbuh besar juga keindahan yang layak ‘dijual’, kripik, dendeng, gereh, terasi, bandeng, tinggal dikemas lebih baik maka akan memiliki harga yang berlipat ganda. Menysuri jalan menuju ujung pesisir Demak, menyaksikan kapal-kapal mengingatkanku pada Bosphorus yang cantik, kawasan pelabuhan di Istanbul Turki, warisan kasultanan Ustmani. Pesisir Demak sangat berpontensi untuk dikembangkan seperti itu meskipun masih banyak perlu dibenahi terutama menejemen pembuangan sampah.
Ditulis oleh Muhajir Arrosyid, Warga Demak, Dosen di Universitas PGRI Semarang. Mengelola blok tunu.wordpress.com. Buku kumpulan cerpennya berjudul di Atas Tumpukan Jerami dan buku kumpulan esainya Soko Tatal. Artikel - artikelnya sering dimuat di Media Cetak
Tulisan ini saya copas dari : http://harjito.com/pesisir-demak-wisata-dan-oleh-oleh/
KOMENTAR